http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/30/matilah-sebelum-mati/
Ada satu nasehat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi “
Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “
matilah sebelum mati”
Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya
adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah
dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau
tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita
mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh
(ruhani) kita.
Berikut ulasan dari seorang teman akan nasehat dari Rasulullah di atas
***** awal kutipan *****
“Sebelum anda meninggal dunia, cobalah mematikan diri anda sejenak.
Tutuplah kedua mata anda dan bayangkan jenazah anda sedang berada di
atas keranda mayat diiringi oleh para pengantar jenazah. Keadaan
bagaimana yang anda inginkan setelah anda mati, maka jadilah seperti
yang anda inginkan di saat anda hidup sekarang ini.
Perbaikilah kesalahan anda, perbaikilah tingkah laku anda,
bertaubatlah di atas segala perbuatan maksiat anda, bukalah lembaran
baru kehidupan anda dengan perjalanan hidup dan budi pekerti yang baik.
Cucilah hati anda dari kedengkian dan bersihkanlah dari
pengkhianatan. Kelak anda akan mengingat apa yang telah anda lakukan
karena makhluk-makhluk ibarat pena Allah ta’ala dan seluruh manusia
adalah saksi Allah ta’ala di bumiNya.
Jika mereka bersaksi dengan memuji anda, maka itu adalah khabar baik
buat anda dan kesaksian ini diterima di sisi Allah yang Maha Esa. Namun
jika mereka bersaksi dengan menyebutkan keburukan anda, maka anda sangat
merugi di atas apa yang sedang menanti anda“
*****akhir kutipan ****
Nasehat Rasulullah di atas tidak diingat lagi siapa-siapa perawinya
sebagaimana umumnya hadits-hadits yang berhubungan dengan akhlak atau
berhubungan dengan tentang Ihsan atau tasawuf.
Nasehat Rasulullah di atas disampaikan oleh para ulama yang sholeh
bersanad ilmu sampai kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Mereka yang terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman)
dari kaum Zionis Yahudi umumnya akan mempertanyakan hal-hal seperti,
“
bagaimana antum bisa memvalidasi “nasehat” itu benar dari lisan Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”
“
bagaimana kita tahu itu sebuah hadits jika tidak diketahui sanadnya ?”
Pertanyaan mereka pada hakikatnya adalah mempertanyakan dalil terhadap sebuah nasehat.
Mereka yang mempertanyakan dalil terhadap sebuah nasehat merupakan
wujud dari terkena hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) dari
kaum Zionis Yahudi
Salah satu penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward
Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens
Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan
berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan
mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk
menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak
orientalis.
Protokol Zionis yang ketujuhbelas
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para
ulama non-Yahudi dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat
ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas
masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani
yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal
masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan..
Mereka yang terhasut maka mereka tidak lagi mempercayai apa yang
disampaikan oleh para ulama yang sholeh yang bersanad ilmu tersambung
kepada lisannya Rasulullah, mereka tidak lagi mempercayai apa yang
disampaikan oleh para ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah ,
termasuk tidak lagi mempercayai apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab
yang empat.
Sehari-hari mereka disibukkan kembali dengan apa yang telah dilakukan
dan diselesaikan oleh Imam Mazhab yang empat, padahal mereka tidak
berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak
Oleh karena kesibukkan mereka berijtihad dalam perkara syariat
akhirnya mereka tidak punya waktu lagi untuk mendalami hadits-hadits
tentang akhlak atau tentang ihsan atau tentang tasawuf
Hadits yang wajib diketahui sanadnya adalah hadits yang terkait
dengan hukum atau terkait perkara agama atau perkara syariat, syarat
sebagai hamba Allah, perkara yang telah diwajibkanNya, wajib dijalankan
dan wajib dijauhi meliputi perkara kewajiban yang jika ditinggalkan
berdosa, perkara larangan dan pengharaman yang jika dikerjakan/dilanggar
berdosa.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “
di
dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran,
sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “
Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka
jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan
(dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah
mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu
pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda
kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan
dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Urusan agama atau perkara syariat atau perkara yang diwajibkanNya
(wajib dikerjakan dan wajib dijauhi) telah sempurna dan telah
disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Firman Allah ta’ala yang artinya, “
Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Qs. Al Maidah; 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “
Tidak tertinggal sedikitpun yang mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan telah dijelaskan bagimu ” (HR Ath Thabraani dalam Al Mu’jamul Kabiir no. 1647)
“mendekatkan dari surga” = perkara kewajiban (ditinggalkan berdosa)
“menjauhkan dari neraka” = perkara larangan dan perkara pengharaman (dikerjakan berdosa)
Justu mereka yang suka melarang-larang perbuatan kaum muslim atau
menyampaikan larangan (sesuatu yang jika dikerjakan/dilanggar berdosa)
wajib ditanyakan dalilnya atau sanadnya karena perkara larangan adalah
hak Allah ta’ala menetapkannya dan Allah ta’ala tidak lupa.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“
Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu?
Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang
timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang
tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu
melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
“
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [QS. An-Nahl : 116].
Dalam hadits Qudsi , Rasulullah bersabda: “
Aku ciptakan
hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah
syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari
agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada
mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan
sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “
Barangsiapa menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal, maka dia telah kafir.”
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “
Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “
apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “
tidak”, “
Mereka tidak menyembah para
rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu
menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika
para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka
mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”
mereka
(para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu
yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka
mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Hadits-hadits tentang akhlak atau tentang ihsan (tasawuf), silahkan
didalami atau tidak didalami, silahkan dipedulikan atau tidak
dipedulikan sebagaimana hadits qudsi.
Namun bagi yang ingin meneladani akhlak Rasulullah maka sediakanlah
waktu untuk menelusuri kembali hadits-hadits tentang nasehat atau
tentang akhlak atau tentang ihsan (tasawuf) sebagai sarana untuk
memperjalankan diri agar sampai (wushul) kepada Allah ta’ala atau
sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Telusurilah dari
ulama-ulama yang telah dekat dengan Allah yakni ulama-ulama yang sholeh
yang bersanad ilmu tersambung kepada lisannya Rasulullah atau melalui
ulama-ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah.
Ingatlah selalu bahwa indikator atau tanda-tanda seorang ulama yang
dekat dengan Allah atau ulama yang telah mentaati Allah dan RasulNya
sehingga mendapatkan maqom disisiNya minimal adalah ulama yang sholeh
sehingga berkumpul dengan 4 golongan muslim disisiNya yakni para Nabi
(Rasulullah yang utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan muslim yang
sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya “
Dan barangsiapa yang menta’ati
Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat seorang ulama kepada Allah sehingga mereka dapat
menjadi kekasihNya (Wali Allah). Maqom Shiddiqin atau maqom kedekatan
dengan Allah telah diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/09/2011/09/28/maqom-wali-allah